27 April 2011

PSB Yang Individualis Nan Populis

Memang pendidikan adalah segala-galanya. Dalam rangka itu, orang akan melakukan sesuatu meskipun menguras uang, pikiran dan waktu.

Masuk sekolah ataupun lembaga negeri adalah suatu keharusan dan kebanggaan, mereka terbangun dari asumsi-asumsi prematuris yang mengatakan ibarat menemukan tumpukan emas, jika putra atau putri mereka masuk dalam barisan nama siswa siswi yang lulus tes sekolah negeri. Tensi gede-gedean mengkontaminasi otak para orang tua. Para orang tua akan merasa malu kalau anaknya tidak sekolah di sekolah atau lembaga negeri. Untuk para pendaftar ataupun orang tua berdesak-desakan untuk mendaftarkan diri ke sekolah ataupun lembaga yang berstatus negeri.

Namun kalau kita analisis, dari aktifitas desak-desakan tersebut mengandung multi konflik hedonis, artinya kalau orang berdesak-desakan untuk menuju sesuatu yang diharapkan, orang tersebut tidak akan mengenal orang sekitarya, baik itu saudara, tetangga ataupun lainnya. Dia akan konsentrasi pada keinginannya, bahkan ironisnya tak jarang dia melakukan perbuatan yang tidak santun. Ada yang dengan sadar menginjak kaki, mendorong atau lainnya yang perbuatan tersebut menimbulkan kemarahan namun kemarahan tersebut tidak berbuntut panjang. Seperti proses pengambilan formulir pendaftaran atau melihat pengumuman kelulusan tes secara manual dan lain sebagainya, namun tidak kesemuanya. Disadari ataupun tidak, perbuatan semacam itu menimbulkan rasa individualis yang mengagungkan pada kepentingan pribadi. Tapi, dengan berkembangnya teknologi maka hal itu sekarang sudah bisa teratasi.

Berbicara individualis, kita tidak bisa melupakan wacana klasik (classic history) yang pernah menggelinding dalam kehidupan masa lalu. Dimana praktek tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme berasal dari praktek tersebut. Koruptor kelas kakap maupun kelas teri melakukan tindakan merugikan tersebut terbungkus bermuara pada rasa individu disamping ada kesempatan.

Dari sini timbul kekhawatiran, dari praktek-praktek kecil tersebut akan menyeret pada kebiasaan yang menjadi jembatan wacana sejarah klasik diatas. Pepatah mengatakan “pertama kita membentuk suatu kebiasaan, lama kelamaan kebiasaan itu akan membentuk diri kita”. Kita pasti tidak berkenan kalau kebiasaan-kebiasaan dari rasa individual akan menjadi penyakit dan mewabah dalam diri manusia kita atau dari kebiasaan tersebut menjadi kultur apalagi menjadi peradaban. Kita juga tidak berkenan kalau proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) menjadi ladang timbulnya penyakit individual yang membawa tindakan-tindakan tak santun. Seperti contoh isu kasus tentang pembobolan data base pengumuman siswa atau isu kasus industrialisasi pendidikan dan sebagainya.

Perubahan Paradigma
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengabaikan perbuatan-perbuatan kecil yang padahal perbuatan tersebut dapat berimplikasi pada keburukan tabiat kita. Padahal kebiasaan sekecil atau sebesar apapun  adalah tindakan yang berasal dari dalam tubuh kita. Mulai sejak kecil kita sudah pernah mendengar pepatah yang mengatakan “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” karena kontinuitas yang melandasinya.

Kesadaranlah yang menjadi kata kunci (key word) untuk merubah paradigma kebiasaan-kebiasaan tersebut. Kita harus membangun kesadaran bahwa kepercayaan terhadap keunggulann kualitas sekolah atau lembaga yang berstatus negeri tidak selamanya harus kita sematkan dalam otak kita. Kita sudah hidup dalam era zaman modern, paradigma yang kurang tepat harus kita buang-buang jauh-jauh, bila perlu kita bersihkan dengan norton utiliry antivirus dalam otak kita.

Tidak selamanya sekolahan swasta kalah bersaing dengan sekolah negeri. Ini terbukti dengan meroketnya sekolahan swasta yang dapat menelurkan lulusan terbaik. Dan perlu kita tajamkan wacana pendidikan kita pada pemberlakuan Kutikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Sekolahan swasta maupun negeri sama-sama membangun kualitas sekolah dengan menciptakan formula yang menhantarkan pada terwujudnya target capaian masyarakat untuk mengenyam pendidikan yang bermutu baik dan sekaligus membantu pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa demi terciptanya tatanan negara yang good government dan good governance.

Terlepas dari masuk sekolah negeri ataupun swasta, siswa-lah yang harus kreatif. Tidak ada jaminan yang mengatakan kalau masuk sekolah negeri siswa menjadi pintar, itu tergantung dari siswanya. Dalam hal ini siswa sebagai man of the match dalam menerjemahkan keinginan ataupun cita-cita menjadi siswa pintar yang berguna bagi nusa dan bangsa. Kalau anak tersebut memang mempunyai kemampuan yang lebih dan kreatif, meskipun dia belajar di sekolah swasta, maka tidak menutup kemungkinan dia akan mengalahkan siswa yang belajar di sekolah negeri. Atau secara kasar dapat kita katakan “kalau anaknya bodoh dan sepi akan kreatifitas, meskipun dia disekolahkan di sekolah negeri terbaik di Idonesia, tidak ada jaminan untuk pintar”. Malahan dia Cuma menghamburkan uang saja. Semoga kita disadarkan akan hal itu!.(Fanani).

2 komentar

manteb "oto kritik'e--:))

nubie pingin tukeran link masbro :D
http://ritongapasuruan.blogspot.com/

he emmm.......
mben anakku tak sekolahno nyang italy ae lah.
sekalian nyambi jadi pemain juventus.
ahehehehehe...........
:X

Silahkan kasih komentar dan mohon cantumkan blog pribadinya juga! Terima Kasih...