22 Oktober 2012

Catatan Lahirnya Ideologi Dasar Negara Indonesia

Antaran 
Ideologi secara sederhana diartikan sebagai kumpulan ide atau gagasan. Menurut Marxisme, ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Dari sini bisa dikatakan bahwa ideologi dapat diartikan sebagai sebuah ide pemikiran yang dijadikan dasar pijakan oleh si penganut ideologi.

Sedangkan dasar Negara Indonesia bisa diartikan landasan kehidupan bernegara bagi warga Negara Indonesia. Jadi, Ideologi dasar Negara Indonesia adalah sebuah hasil pemikiran yang diaplikasikan (diterapkan) sebagai landasan kehidupan bagi warga Negara Indonesia.

Rumusan Awal Dasar Negara Indonesia
Pembahasan dasar Negara yang berarti dasar ideologis atau falsafah Negara, sudah menjadi bagian dari pembicaraan konstitusional Indonesia semenjak persiapan awal untuk membentuk Republik Indonesia. Menurut Hatta, soal dasar Negara ditafsirkan secara ideologis baru pada hari ketiga sidang pertama BPUPKI, tanggal 31 Mei 1945. Disinilah terjadi pertentangan antara mereka yang menganjurkan Negara Islam dan mereka yang mempertahankan Negara yang bebas dari campur tangan agama (Hatta, 1978:433).

Dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945, Soepomo juga berbicara mengenai pertentangan yang disebut oleh Hatta: "memang di sini terlihat ada dua paham anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai Negara Islam dan anjuran lain yang dianjutkan oleh Moh. Hatta, ialah Negara persatuan nasional yang memisahkan urusan Negara dengan urusan Islam (agama), dengan perkataan lain bahwa bukan Negara Islam". Soepomo sendiri tidak setuju dengan bentuk Negara Islam karena bertentangan dengan
konsep Negara kesatuan nasional yang diajukannya itu. Ia menunjuk pada aliran Islam yang berbeda-beda dan saling bertentangan, dan mengatakan bahwa bentuk Negara Islam akan membawa pertentangan ini ke dalam Negara Indonesia. Lebih lanjut ia berargumen: "mendirikan Negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar, yaitu golongan Islam ….. maka akan timbul soal-soal Minderheden (minoritas), soal agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain. Meskipun Negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan itu, akan tetapi golongan yang kecil itu tidak bisa mempersatukan Negara”. (Yamin, 1959:117).

Lahirnya Pancasila
Dari perdebatan atau perbedaan perndapat terkait pembahasan dasar Negara sebagaimana di atas, pada hari keempat sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, presiden pertama Indonesia (Soekarno) menyampaikan pidato yang kemudian dikenal dengan judul “Lahirnya Pancasila” yang dalam pada itu Soekarno-lah yang dikatakan sebagai orang yang paling eksplisit merumuskan definisi ideologi dasar Negara. Pidato Soekarno berhasil mengakhiri perdebatan dalam pembahasan awal dan pidatonya sendiri mengkompromikan Pancasila yang terdiri dari 5 asa: (1) Nasionalisme Indonesia; (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan; (3) Mufakat atau Demokrasi; (4) Keadilan Sosial; (5) Ketuhanan.

Setelah penyampaian pidato Soekarno yang disambut dengan tepuk tangan meriah hadirin, para pemimpin Islam ternyata tetap bertahan pada tuntutan bahwa Islam harus menjadi dasar Negara. Untuk menyelesaikannya dibentuklah sebuah panitia yang terdiri atas 9 orang (Ir. Sokarno-ketua, Drs. Moh. Hatta-wakil ketua, Mr. Achmad Soebardjo-anggota, Mr. Muhammad Yamin-anggota, KH. Wachid Hasyim-anggota, Abdul Kahar Muzakir-anggota, Abikoesno Tjokrosoejoso-anggota, H. Agus Salim-anggota, dan Mr. A.A. Maramis-anggota) untuk menyusun pembukaan bagi Undang-Undang Dasar yang akan dibuat. Panitia tersebut menyusun rancangan pembukaan yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta.

Pada proses penyelesaiannya, Ketuhanan dijadikan yang pertama (sila 1), menggantikan tempat Nasionalisme, dan diberi tambahan “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. (Yamin:153-154). Kemudian, melalui kerjasama dengan beberapa pemimpin Islam yang diajak berunding, panitia mengubah sila 1 yang awalnya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Setelah itu, pancasila menjadi sebuah ideologi dan dasar Negara bangsa Indonesia dengan asumsi (anggapan) dan interpretasi (penafsiran) bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam suku, agama, ras, dan golongan. Dari sini perlu diingat bahwa, Indonesia bukan Islam atau Jawa, Indonesia adalah nafas keragaman budaya dan aliran darah yang mempunyai perjalanan yang sama, dan akhirnya dengan meminjam bahasa dari lirik lagu Arch enemy yang beraliran melodic death metal dari Swedia yang berjudul Nemesis, yaitu: “One for all, All for one, We are strong, We are one”, semoga kita disadarkan akan hal itu…!!!

Ket: Tulisan diatas disarikan dari bukunya Adnan Buyung Nasution yang berjudul, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1989, Jakarta: Pustaka Utama Grafika, 1995 dan dari web Wikipedia.

1 komentar:

Please Check http://firmanyofirman.blogspot.com

Silahkan kasih komentar dan mohon cantumkan blog pribadinya juga! Terima Kasih...