03 September 2009

Apakah Diriku Santri?

Dalam hidup kita harus punya bekal, layaknya orang bepergian.


Kata di atas bisa kita jadikan jargon dalam kehidupan kita, khususnya bagi kita yang sedang menimba ilmu di pesantren ini. Artinya dalam rangka menggapai cita-cita memperoleh ilmu yang bermanfaat kita harus punya bekal, seperti yang dijelaskan dalam kitab ta’limul muta’alim. Namun, hal tersebut belum dapat kita sadari, mengingat lemahnya pemahaman akan diri kita sendiri sebagai santri.

Banyak kajian yang membahas idealnya seorang santri, namun itu hanya omongan dan diskusi belaka, visualisasi dalam bentuk tindakannya non sence. Banyak santri yang mulanya memang benar-benar concern pada tujuan dari rumah, yaitu mencari ilmu sesungguhnya dan bahkan hal itu mereka jadikan tujuan akhir (final mission) demi tercapainya cita-cita yang tidak mengukur tingkat pengorbanan yang dilakukan. Atau bahkan mereka yang dulunya niat, berputar 180 derajat menjadi gak niat. Ironisnya mereka malah bangga dan ketika ditanya sama orang luar, mereka dengan pede mengatakan “saya adalah santri”. Hal tersebut patut kita tanyakan, santri seperti apa yang dalam aktifitas kepesantrenannya tidak pernah mentaati peraturan, sering bolos sekolah, tidak pernah mengaji atau hal-hal yang menjadikannya sebagai target operasi pencarian orang oleh KAMTIB Pesantren atau pihak kesiswaan lembaga atau bahkan oleh sang Kyai.

Selama ini santri dikenal sebagai orang yang penuh dengan etika kesopanan dan memiliki semangat perjuangan, kemandirian serta kesederhanaan. Santri dikatakan punya semangat perjuangan karena
selama proses pencarian ilmu, seorang santri dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang pelik, seperti kewajiban untuk hafalan atau kewajiban lainnya yang kewajiban tersebut harus dipenuhi dengan rasa pengorbanan. Seorang santri juga memiliki semangat kemandirian, karena santri ketika berangkat dari rumah untuk menimba ilmu di pesantren santri tidak akan ditemani oleh kedua orang tua mereka, saudara ataupun kerabat dan otomatis santri akan menggapai asanya hanya seorang diri dan hal itulah yang menjadikan santri selalu hidup dalam kemandirian. Sedangkan santri dikatakan memiliki kesederhanaan karena dalam kehidupannya santri identik dengan budaya “kekurangan”. Betapa tidak, tidur beralaskan tikar seadanya atau malah tidak beralas sama sekali, setiap hari makan nasi liwet yang konon diragukan nilai ke-higenis-annya. Dari semangat itulah santri juga dikenal sebagai moral force (kekuatan moral) yang mendorong tumbuhnya masyarakat yang rukun dan harmonis. Dalam pada itu juga, meminjam kategorisasi Kuntowijojo (1994) tentang budaya santri, budaya agama atau kesantrian dapat dilihat dari segi spiritualitas, etika dan simbol-simbol. Seperti yang dikatakan sebelumnya, hal tersebut menandakan bahwa santri adalah orang yang baik, suka akan kebersamaan (egaliterian) dan mempunyai solidaritas tinggi.

Persoalan menjadi lain ketika komunitas santri ini masuk jauh kedalam pusaran modernitas, lambat-laun etika dan semangat yang dimiliki tersebut pudar. Hal ini juga berimplikasi pada perubahan paradigma mereka. Seperti yang terjadi pada Pesantren kita yang tercinta ini. Sebagian besar santri telah terkontaminasi oleh alur budaya modern. Sebagai bukti, coba kita bandingkan semangat mereka ketika sekolah Diniyah dengan sekolah Formal. Mereka akan lebih semangat sekolah Formal dari pada sekolah Diniyah yang ini dibuktikan dari data keaktifan siswa ketika sekolah formal dengan sekolah diniyah. Hal tersebut memang merupakan wacana klasik (classic history), artinya dari dulu sampai sekarang memang permasalahan tersebut sudah ada.

Tidak hanya itu karena mengikuti alur modernitas yang salah sekarang santri dapat dikatakan tidak manut pada sosok sang Kyai, ini terbukti dari semakin bertambahnya pelanggaran sumpah santri yang meski setiap pengajian Kyai telah merefresh ingatan kita akan sumpah tersebut. Pada awalnya hubungan Kyai-Santri kita kenal dengan patron-client, dimana seorang santri harus taat dan patuh terhadap guru (kyai). Seorang Kyai pasti menjadi suri tauladan yang baik bagi santrinya yang meskipun pada masa sekarang banyak Kyai yang ditinggalkan muridnya gara-gara masuk dalam dunia politik praktis. Padahal seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Clifford Geertz bahwa Kyai pesantren mempunyai peran besar dalam “makelar budaya” (cultural Broker). Sebaliknya Santri merupakan salah satu elemen yang kedudukannya di bawah sang Kyai yang dalam kesehariannya harus mengikuti titah sang Kyai. Mengapa santri harus tunduk dan manut pada sang Kyai? Hal ini diasumsikan bahwa sang Kyai adalah sumber ilmu pengetahuan di pesantren dan penjaga moral santri, sehingga kalau ada santri yang tidak nurut pada sang kyai berarti mereka telah merusak tradisi pesantren yang telah berjalan berabad-abad lamanya, dan itu sesuatu yang tidak wajar. Hal ini bisa dianalogikan pada perbedaan filsafat dengan ilmu pengetahuan, Kyai adalah filsafat dan santri adalah ilmu pengetahuan. Ini artinya fisafat kedudukannya lebih tinggi dari pada ilmu pengetahuan atau ilmu pengetahuan itu lahir gara-gara adanya filsafat.

Disadari ataupun tidak itulah wajah santri masa kini. Santri yang terbawa arus modernitas yang kepribadiannya berbalik arah dengan kepribadian santri zaman dulu. Dulunya santri kemana-mana dikantong bajunya terdapat nadhom al-Fiyah, tapi kini terdapat handphone. Kalau setiap pesantren santrinya berkurang dalam ranah akhlak maka bukan tidak mungkin pesantren tersebut akan sepi tidak ada penghuninya. Pesantren yang seharusnya menjadi rumah tempat belajar, kini bagi mereka seakan-akan sebagai penjara yang mengisolasi diri mereka. Sehingga ketika mereka pulang (boyong) dari pesantren, tidak sedikit dari mereka yang tidak segan-segan melakukan tindakan yang dilarang di pesantren. Hal semacam itulah yang membuat sebagian orang tua mengurungkan niatnya untuk memondokkan anaknya. Sangat ironis memang, dan bisa dikatakan lebih ironis dari pada mendengar pesantren sebagai sarang teroris yang sempat teringiang beberapa tahun lalu.

Apa yang melatar belakanginya?

Tentunya banyak hal yang melatar belakanginya dan salah satunya adalah karena pembentukan dari sebuah lingkungan sekitar. Seperti contoh, ada santri yang dari rumah memang niat untuk mondok, kemudian sesampainya di pesantren dia menempati kamar yang penghuninya mempunyai watak eror. Pertamanya memang santri tersebut tidak akan terpengaruh, tapi lama kelamaan santri tersebut akan terpengaruh dengan kondisi dan watak dari penghuni kamar. Tapi hal itu tidak akan terjadi ketika santri tersebut kuat dalam pendirian.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebagai santri sering mengabaikan perbuatan-perbuatan kecil yang padahal perbuatan tersebut dapat berimplikasi pada keburukan tabiat kita. Kebiasaan sekecil atau sebesar apapun adalah tindakan yang berasal dari dalam tubuh kita. Mulai sejak kecil kita sudah pernah mendengar pepatah yang mengatakan “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” karena kontinuitas yang melandasinya. Kadang-kadang juga berawal dari coba-coba. Pertamanya santri ingin melanggar peraturan, namun tidak punya keberanian untuk itu, sehingga dalam hatinya terdapat pertempuran antara hati yang baik dan yang buruk. Karena hati yang buruk menang dan karena adanya kesempatan santri tersebut mencoba bereksperimen untuk melakukan penyimpangan. Awalnya dia berkomitmen untuk melakukannya satu kali, namun karena kecanduan, perbuatan tersebut menjadi suatu kebiasanaan. Seperti pepatah bilang “pertama-tama kita membentuk suatu kebiasaan dan lama kelamaan kebiasaanlah yang membentuk diri kita” dan akhirnya kalau satu hari saja perbuatan tersebut tidak dilakukan, serasa sekujur badan gatal-gatal semua.

Apa Solusinya?

Kesadaranlah yang menjadi kata kunci (key word) untuk merubah paradigma kebiasaan-kebiasaan tersebut. Kita harus yakin pada diri kita, bahwa kita bisa menjalani kehidupan sebagai santri dengan tidak terpengaruh dari kebiasaan-kebiasaan buruk di sekeliling kita. Kita harus membangun kesadaran untuk menjadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri bukanlah sifat egois jika hal ini kita landasi dengan mengikuti pada aturan atau norma yang ada. Memang dalam kehidupan kita tidak bisa mengelak dari arus modernitas, namun bagaimana kita bisa mewarnai modernitas tersebut dengan kepribadian menjadi santri yang santun. Kita sudah hidup dalam era zaman modern, paradigma yang kurang tepat harus kita buang-buang jauh-jauh, bila perlu kita bersihkan dengan norton utility antivirus dalam otak kita. Kita boleh meniru gaya orang lain sebatas tidak bertentangan dengan aturan dan norma yang ada.

Terlepas dari buruknya kondisi pesantren baik karena tatanan birokrasi atau kurang maksimalnya sarana, santri-lah yang harus kreatif. Dalam hal ini santri sebagai man of the match dalam menerjemahkan keinginan ataupun cita-cita menjadi santri yang berhasil mewujudkan keinginan kedua orang tua, guru dan masyarakat. Meminjam bahasanya Mochammad Mualliem jangan jadi santri yang seperti al-Qur’an rusak, dibaca tidak bisa dibuang membahayakan. Semoga kita disadarkan akan hal itu!. Amin.

2 komentar

Santri itu ibarat orang yang disuruh pergi jauh tapi tidak ditentukan kapan dia akan kembali lagi ke tmpat asalnya. Namun sekarang itu sudah tidak berlaku lagi, sekarang seseorang yang statusnya santri menentukan secara khusus kapan dia akan kembali.

santri ???
aku santri bukan ya ???
ngaji enggak, jama'ah bisa di hitung.
main......melulu, hhhh...........

Silahkan kasih komentar dan mohon cantumkan blog pribadinya juga! Terima Kasih...