06 September 2009

Pilkada Dan Demokrasi Lokal

ANTARAN

Negara merupakan suatu tempat dimana di dalamnya terdapat suatu golongan manusia yang dalam hal ini biasanya disebut sebagai warga negara. Di dalam negara juga terdapat suatu landasan hukum yang mengatur mobilitas warga yang memiliki pemerintahan pusat, daerah dan seterusnya yang dalam hirarki politiknya terdapat undang-undang yang mengaturnya.

Pengaturan mobilitas warga di negara Indonesia terus ditingkatkan demi kesejahteraan masyarakat, terlebih setelah lengsernya rezim orde baru yang meskipun sebagian orang merindukannya berganti dengan era reformasi yang meskipun berganti Indonesia masih terpuruk. Tapi sebagai warga negara yang baik, kita harus tetap optimis Indonesia akan sejahtera, not always with weakness and misery. Salah satu hal tentang peningkatan tersebut adalah peluncuran kebijakan pemerintah pada Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan konsepsi tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang merupakan buah karya (master piece) dari amandemen keempat ST MPR RI 2002.

Kebijakan pemerintah tersebut berimplikasi pada tatanan politik baik berskala nasional maupun regional. Pada skala regional,
pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan tentang pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat yang merupakan estafet dari pemlihan DPR atau Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, meskipun dari konsepsi tersebut awalnya dinilai kontroversial, karena banyak kalangan yang tidak setuju dengan hal itu.

PILKADA DAN PROBLEMNYA
Sejak diputuskannya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, putusan tersebut berimplikasi pada tatanan politik lokal. Meskipun sudah berlangsung kurang lebih 5 tahun, masyarakat daerah pasalnya masih canggung akan kebijakan itu. Hal ini dikarenakan perubahan paradigma politik pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah yang asalnya sentralistik menjadi disentralistik. Logikanya, kalau orang sudah canggung atau dalam keadaan tidak biasa untuk melakukan sesuatu, orang tersebut akan menomor satukan emosinya dari pada akal sehatnya, padahal kalau kita memilih seseorang yang akan menjadi pemimpin kita, seyogyanya dengan media akal sehat.

Kalau sedikit menilik secara historis, pada waktu pemerintahan sentralistik orde baru, pemerintahan dipimpin oleh seorang diktator Soeharto yang membrangus demokrasi di tingkat pemerintahan daerah. Berapa tidak, puncuk pimpinan negara dan pemerintahan dipegang erat-erat. Praktek hegemoni kekuasaan menjadi konsumsi pokok. Semua kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, dia pegang. Dalam prakteknya, Soeharto menawarkan kebijakan-kebijakan individual yang terbungkus rapi dalam frame otoritas yang dilindungi (back up) oleh payung konstitusi. Selama hampir tiga puluh dua tahun lamanya Soeharto sebagai “Man of The Match” dengan mudah menjadikan jargon kemapanan dalam pembangunan dan stabilitas politik sebagai kekuatannya dalam mengawetkan dia duduk sebagai orang nomor wahid di Indonesia. Mungkin karena itulah praktek dan implementasi Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) menjadi perdebatan sengit pada masa awal-awal masa bergulir.

Seiring dengan pemahaman politik pilkada, paradigma berpikir masyarakat mengalami kemajuan pesat. Hal ini merupakan buah dari getolnya pemerintah pusat dan daerah mensosialisasikan kebijakan tersebut secara luas. Kemudian digelarlah PILKADA oleh pemerintah yang penyelenggaraannya diamanatkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang merupakan tangan panjang dari KPU pusat. Namun sebelum pilkada digelar, persoalan pun muncul. Salah satu tindak korupsi oleh tubuh KPU pusat bahkan ironisnya lagi korupsi di KPU pusat oleh masyarakat digeneralisir sampai pada KPUD sebagai peyelenggara Pilkada.

Dalam prosesnya, pilkada sendiri diharapkan menjadi formula yang tepat untuk mengembalikan harkat, martabat dan harga diri demokrasi masyarakat di daerah yang dulunya diberangus habis ole rezim otoritarianisme. Tuntutannya masyarakat daerah harus selektif mungkin dalam menentukan tampuk pimpinan mereka. Karena dari tangan halus mereka-lah nasib akan tertuliskan dengan kemujuran dan itulah harapan, jangan sampai pilihan mereka menjadi boomerang bagi usaha demokratisasi. Kemudian agar harapan (das sollen) dan kenyataan (das sain) seimbang perlu adanya pengawas kinerja pemerintah daerah. Karena ide pemilihan kepala daerah langsung tak hanya menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, tapi juga penyimpangan-penyimpangan demokratis yang dulu berpeluang untuk tampil kembali. Sebab itulah, mengembalikan kedaulatan rakyat adalah keharusn yang tidak bisa ditunda lagi. Bangunan (konstruksi) budaya demokrasi yang mengikutsertakan partisipasi masyarakat haruslah ada dan seiring dengan kesadaran rakyat akan pentingnya demokrasi sehat.

Memang menciptakan formula seperti yang telah dikemukakan di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya analisis budaya daerah atau budaya lokal. Pada kenyataannya, demokrasi daerah-daerah di Indonesia masih kental akan budaya feodal, patronase ataupun yang lainnya. Sehingga praktek demokrasi di daerah, terkesan mandul, contohnya seorang ulama.

Pada era politik kontemporal ulama seakan-akan menjadi selebritis yang paling ngetop. Berbagai calon pemimpin daerah ramai-ramai datang ke rumah-rumah ulama untuk meminta do’a restu. Sebaliknya ulama yang atau para kyai yang ingin “jadi selebritis” saling berganti datang ke rumah calon pemimpin daerah yang menawarkan menjadi Tim Sukses (TS) ataupun sekedar menjadi pemimpin do’a ketika ada hajatan di rumah calon pemimpin. Bagi calon pemimpin daerah, hal tersebut sama halnya dengan menemukan sekarung emas. Artinya para kyai yang note bene-nya sebagai pemimpin agama yang kharismatik, tentunya mereka sangat kuat pengaruhnya di mata masyarakat. Max Weber memandang sosok pemimpin kharismatik adalah sosok yang punya kelebihan-kelebihan tertentu yang ia dapatkan secara taken for granted dari tuhan. Rasionelnya, kalau sang kyai mendukung salah satu calon pemimpin kepala daerah, bukan berarti tidak, kalau masyarakat pengikutnya baik yang terjalin emosinya atau kagum karena “kesaktiannya” akan ikut-ikutan mendukung seperti yang di dukung oleh sang kyai. Atau bahkan ironisnya sang kyai memberikan fatwa kepada santri atau pengikutnya untuk mendukung seperti halnya apa yang didukung dan tak sedikit yang dalam fatwanya sang kyai menggunakan dalil-dalil sebagai ajian atau bumbu penyedap propagandanya. Akan tetapi kita harus merespon positif apa yang dilakukan oleh para kyai. Kita harus yakin bahwa kalau kyai terjun dalam bidang politik praktis adalah merupakan manifestasi kepedulian mereka terhadap nasib bangsa kita yang sedang sulit ini. Nur Syam, salah satu intelektual Islam mengatakan bahwa, kyai yang memilih dirinya untuk terjun dalam politik praktis tetap bermakna positif selama kyai dapat menjaga moralitas dan integritas politik. Sebab kalaupun tidak ada satu pun kyai yang terlibat dalam politik praktis timbul kekhawatiran tidak ada penyangga moral dalam dunia politik di Indonesia.

Terlepas dari itu semua, tentunya kita harus meyakini kebijakan tentang pelaksanaan Pilkada adalah merupakan representasi dari gairahnya semangat untuk menumbuhkembangkan demokrasi di tingkat lokal yang seperti yang telah di kemukakan di atas, telah dirampas oleh salah satu founding fathers kita. Namun itu sudah usai, yang jelas dan urgen bagaimana kita membangun demokrasi, khususnya di tingkat lokal menjadi lebih baik dan maju dari yang dahulu demi terwujudnya Indonesia yang adil sejahtera tanpa adanya eksploitasi terhadap manusia satu dan yang lainnya, atau dalam bahasanya Bung Karno adalah Exploitation De Long Parlong.

Silahkan kasih komentar dan mohon cantumkan blog pribadinya juga! Terima Kasih...